oleh M Rusmul Khandiq | Mei 17, 2024 | Kabar Fakultas, Sosok Fakultas
Masalah sampah menjadi salah satu isu lingkungan yang memerlukan perhatian serius. Pengelolaan sampah yang buruk dapat menimbulkan bencana alam seperti banjir dan tanah longsor.
Dr.Ling., Ir. Sri Sumiyati, S.T., M.Si., IPM., ASEAN Eng., Dosen Teknik Lingkungan UNDIP, menjelaskan bahwa bencana lingkungan akibat pengelolaan sampah yang tidak tepat dapat menimbulkan korban, baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Salah satu contohnya adalah bencana ledakan di TPA Leuwigajah Cimahi, Jawa Barat, pada 21 Februari 2005. Penjelasan tersebut disampaikan dalam Kentongan Pro 1 RRI Semarang pada Rabu, 16 Mei 2024.
“Bencana ledakan di TPA Leuwigajah menewaskan 157 jiwa tertimbun longsor. Kejadian ini membuka mata untuk melakukan pengelolaan sampah dengan tepat agar kejadian serupa tidak terulang kembali”. ungkap Dr.Ling., Ir. Sri Sumiyati, S.T., M.Si., IPM., ASEAN Eng.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional tahun 2023, jumlah sampah yang terkumpul di Indonesia mencapai 19.517.172,98 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, pengurangan sampah belum mencapai 30 persen, meskipun idealnya pengurangan sampah seharusnya 30 persen dan penanganan sampah 70 persen. Di Indonesia, pengurangan sampah baru mencapai 16,69 persen, sementara pengelolaan sampah baru sebesar 66,82 persen.
“Pengelolaan sampah yang baik ditinjau dari 5 aspek yaitu teknik operasional, pembiayaan, regulasi, kelembagaan, dan peran serta masyarakat. Dari 5 aspek tersebut, pengelolaan sampah yang tepat, dapat diawali dengan pilah sampah dari sumbernya, antara sampah organik dan anorganik misalnya. Organik bisa diolah menjadi pupuk kompos, sampah anorganik bisa dibawa ke bank sampah”, papar dosen Departemen Teknik Lingkungan ini..
Saat ini, prinsip 3R atau reduce-reuse-recycle bahkan ditambah menjadi 5R untuk lebih mengefektifkan pengelolaan sampah, tambahan 2R yaitu rethink dan replace.
Rethink artinya berpikir ulang kembali, mengubah paradigma membeli yang dibutuhkan. Sedangkan replace adalah mengganti, misalnya lampu bohlam diganti menjadi LED agar lebih tahan lama atau mengganti minuman kemasan dengan membawa tumbler.
Berita disadur dari RRI
Reporter : Indah Zulayka
Editor : M. Rusmul Khandiq
oleh M Rusmul Khandiq | Mar 17, 2024 | Kabar Fakultas, Sosok Fakultas
Hujan yang mengguyur Kota Semarang secara terus menerus sejak Sabtu yang lalu menyebabkan genangan air dan melumpuhkan aktivitas di beberapa titik di Kota Semarang. Namun, banjir ini tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi saja. Ada beragam faktor yang membuat Kota Semarang memiliki potensi tinggi untuk mengalami banjir.
Menurut Guru Besar Departemen PWK Undip, Prof. Dr.-Ing. Wiwandari Handayani, S.T, M.T, MPS, kondisi geografis dan fenomena iklim memperbesar kerentanan banjir di Semarang. Dalam wawancara beliau dengan CNN Indonesia pada Jumat, 15 Maret 2024, topografi Semarang yang berada di kawasan tinggi ke rendah, naiknya muka laut, serta terjadinya penurunan tanah akibat penggunaan air tanah yang berlebihan, memperbesar kemungkinan untuk terjadinya banjir di Kota Semarang ketika terjadi cuaca ekstrem seperti sekarang.
“Secara geografis, topografinya (Semarang) itu dari tinggi ke rendah, kemudian ditambah adanya fenomena iklim berupa kenaikan muka laut, dan juga terjadinya land subsidence (penurunan tanah), dan tentunya disebabkan oleh cuaca ekstrem,” ungkap beliau.
Prof Wiwandari menambahkan, meskipun letak Kota Semarang berada di daerah pesisir, banjir yang terjadi di Kota Semarang tidak semuanya berupa banjir rob. Perubahan tata guna lahan di daerah hulu akibat pembangunan yang berlebihan menyebabkan berkurangnya wilayah resapan air, sehingga menimbulkan limpasan deras dan banjir di kawasan hilir.
“Memang jenis banjir di Kota Semarang itu karena faktor yang berbeda-beda. Karena faktor geografis, topografinya yang bervariasi. Ketika ada perubahan tata guna lahan di daerah hulu dari lahan non terbangun menjadi terbangun, akhirnya resapan air berkurang sehingga limpasan semakin deras menuju ke pesisir.”
Terkait penurunan tanah di Semarang, beliau menjelaskan bahwa fenomenanya sudah terlihat jelas sejak akhir tahun 1990-an. Tanah aluvial muda yang terbentuk dari sedimentasi di pesisir Semarang sejak awal memang kurang kuat untuk menampung aktivitas perkotaan. Hal ini diperparah juga dengan banyaknya industri yang menggunakan air tanah secara berlebihan. Menurut beliau, aktivitas industri perlu diawasi lebih ketat ke depannya.
“Kalau menurut saya, melihat dari sisi masyarakat, memang di beberapa bagian pesisir, seperti pesisir bagian timur seperti Kaligawe dan Pedurungan itu memang daerah padat penduduk. Tetapi yang menggunakan air tanah yang banyak itu sebenarnya industri. Jadi mungkin apabila kita ingin mengantisipasi penurunan air tanah yang disebabkan oleh penggunaan air tanah ini yang paling efektif adalah jika kita memonitor penggunaan air tanah oleh industri yang berlokasi di sepanjang pesisir.”
Selain banjir, Kota Semarang juga perlu memperhatikan potensi longsor di kawasan perbukitan. Fenomena tanah longsor di Ngaliyan bagi Prof. Wiwandari bukan hanya disebabkan oleh banjir, tapi juga adanya pergerakan tanah yang diakibatkan oleh aktivitas lempeng tektonik di wilayah perbukitan Semarang.
“Kalau di daerah-daerah perbukitan memang ada pergerakan tanah karena memang beberapa daerah di wilayah itu sebenarnya rentan terhadap gerakan tanah dan rawan longsor. Jadi, selain banjir, ada juga risiko bencana lainnya,” ucap beliau.
Prof. Wiwandari menyarankan, perlu adanya pengendalian pemanfaatan ruang yang lebih transformatif, integratif, dan komprehensif di Kota Semarang. Selama ini, solusi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Semarang masih banyak berkutat di hilir. Bagi beliau, perlu adanya kolaborasi integratif dari hulu ke hilir antara Pemerintah Kota Semarang dengan institusi-institusi pemerintah lainnya yang juga terlibat dalam penanganan banjir di Semarang, seperti BBWS Pemali-Juana.
“Kalau bicara terkait upaya pemerintah, pentingnya pemahaman bahwa ketika kita berbicara tentang banjir itu dari hulu ke hilir. Kebanyakan kota (penanganannya) di hilir. Padahal penanganan banjir harusnya integratif dari hulu ke hilir. Jadi, kerja sama pemerintah secara horisontal perlu diperhatikan.”
Selain itu, Prof. Wiwandari juga menyarankan perlunya pembangunan pusat-pusat ekonomi baru secara bertahap. Hal ini ditujukan untuk mengurangi beban kota-kota pesisir yang sudah kelebihan muatan.
“Jadi saya kira, kalau ada pembagian peran dan beban, serta secara paralel juga ada intervensi yang integratif, maka kita perlu optimis bahwa masalah ini (banjir) bisa terlalui. Karena sekarang ini juga Semarang bisa banjir parah karena ada faktor cuaca ekstrem. Artinya, sudah ada upaya dalam kondisi normal untuk mengurangi kejadian banjir,” tukas beliau.
oleh M Rusmul Khandiq | Mar 2, 2024 | Kabar Fakultas, Sosok Fakultas
Sebagai masyarakat yang hidup di negara tropis, cuaca hujan maupun panas yang ekstrem dapat mempengaruhi kualitas tempat tinggal dan kenyamanan dari penghuninya. Maka dari itu, kita perlu bijak dalam memilih tempat tinggal yang sesuai.
Dalam Dialog Kentongan Pro 1 RRI Semarang tanggal 28 Februari 2024, Dr. Ir. Eddy Prianto, CES, DEA, Dosen Arsitektur Undip menjelaskan, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan sebelum memilih rumah.
Pertimbangan pertama adalah terkait lokasi. Bagi beliau, kita perlu mengetahui apakah di lokasi tersebut terdapat fasilitas-fasilitas yang bisa diakses dengan mudah, semisal jalan raya. “Yang pertama, kita harus tahu lokasinya. Artinya, lokasinya itu ada di mana? Sedangkan lokasi itu kita bisa mempertimbangkan apakah di situ fasilitasnya tersedia? Apakah dia dekat dengan fasilitas lainnya? Atau kita ingin rumah itu dekat dengan jalan raya?” terang beliau.
Pertimbangan berikutnya terkait dengan tipe rumah dan fasilitasnya. Tipe rumah menentukan kapasitas dan fasilitas yang akan didapatkan. Untuk memilih tipe rumah yang sesuai, kita perlu memerhatikan kemampuan finansial, jumlah tanggungan, serta jumlah aset yang ingin dimasukkan ke dalam rumah.
Pertimbangan terakhir adalah legalitas dari properti tersebut. Beliau mengingatkan untuk selalu berhati-hati ketika membeli rumah atau properti. Jangan sampai properti yang dibeli malah menimbulkan masalah ke depannya. “Yang terakhir, kalau kita ingin beli rumah jadi, periksa legalitas dari propertinya. Jangan sampai setelah kita bayar uang muka ternyata bermasalah.”
Eddy juga menambahkan, ada setidaknya lima aspek yang perlu dicermati ketika membangun rumah. Kelima aspek tersebut antara lain adalah jalan, halaman, bangunan, interior, dan perilaku. Dengan memperhatikan lima aspek ini, maka masyarakat bisa mengelola tempat tinggalnya dengan lebih baik. “Jadi bangunan itu perlu dirawat. Perawatan ini tidak hanya musim hujan, musim panas pun juga perlu,” ucap beliau.
Eddy menyarankan kepada masyarakat untuk rutin melakukan pengecekan dan perawatan rutin terhadap lima aspek di atas untuk menjaga agar rumah tetap aman, nyaman, sehat, serta awet. “Ketika musim hujan ini kita tahu kesehatan rumah kita. Apakah kondisinya itu sudah cukup sakit, artinya perlu diperbaiki, atau masih sehat. Kalau bocornya banyak, harus mulai dikurangi agar tidak tambah bocor.”
oleh M Rusmul Khandiq | Feb 23, 2024 | Kabar Fakultas, Sosok Fakultas
Rumah di masa sekarang merupakan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Sebagai tempat tinggal, kenyamanan dan kesehatan menjadi poin penting dalam membangun rumah.
Bagi Prof. Dr. Ir. Erni Setyowati, M.T, Guru Besar Arsitektur Undip, desain rumah yang memperhatikan kenyamanan dan kesehatan dapat membantu masyarakat untuk hidup lebih nyaman dan sehat. “Kalau rumah kita tidak nyaman dan tidak sehat, maka tubuh kita juga tidak sehat. Kita jadi tidak bisa berpikir sehat,” ujar beliau.
Dalam acara Dialog Kentongan Pro 1 RRI Semarang pada 21 Februari 2024, Prof. Erni menjelaskan tentang tiga aspek yang perlu diperhatikan dalam mendesain rumah agar bisa menciptakan kenyamanan dan kesehatan bagi penggunanya. Tiga aspek tersebut adalah aspek termal, aspek visual, dan aspek audial.
Aspek termal berkaitan dengan rasa puas karena kondisi rumah yang sesuai dengan kondisi lingkungan. Sebagai negara tropis, masyarakat harus mendesain rumah yang bisa menciptakan rasa nyaman dalam kondisi tropis yang selalu panas. Untuk mencapai hal ini, maka pengaturan sirkulasi udara menjadi strategi penting yang harus dilakukan.
“Karena kita hidup di daerah tropis, rumah kita tentunya juga terimbas dengan kondisi tropis yang panas. Oleh karena itu, kita perlu membedah strategi dan trik bagaimana menghadirkan udara dengan tingkat kenyamanan sesuai standar,” kata Prof. Erni.
Aspek berikutnya adalah aspek visual. Dalam aspek ini, gangguan-gangguan visual seperti pencahayaan berlebih menjadi hal yang perlu diperhatikan. Masyarakat perlu untuk mempertimbangkan seberapa banyak cahaya alami yang bisa masuk, dan di saat yang sama mengurangi penggunaan pencahayaan artifisial yang boros energi.
“Kalau kenyamanan visual, kondisi rumah atau manusianya itu merasa tidak terganggu dengan kondisi sekelilingnya yang, misalnya, silau karena terlalu banyak pencahayaan. Tetapi, jika kurang pencahayaan, maka rumah itu bisa tidak hemat energi,” ujar beliau.
Aspek ketiga adalah aspek audial. Aspek ini mengharuskan masyarakat untuk menghitung potensi suara bising yang mungkin muncul dari lingkungan sekitar serta berupaya untuk meminimalkan gangguan tersebut. Menurut Prof. Erni, ketidaknyamanan audial bisa menurunkan produktivitas seseorang jika tidak ditangani dengan baik.
“Bising itu bisa jadi penyebab manusia ogah-ogahan, malas melakukan aktivitas positif, malas bergerak, kemudian bisa menyebabkan pening.”
Prof. Erni menyarankan kepada masyarakat untuk membangun rumah sesuai dengan standar yang ada. Hal ini tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kenyamanan dan kesehatan saja, namun juga rasa aman dari potensi bencana yang muncul. Bagi beliau, rumah yang baik adalah rumah yang bisa menyesuaikan diri dengan kondisi dan iklim lokal.
“Sebaik-baik rumah adalah yang bisa mengantisipasi local content (kondisi lokal), termasuk juga local climate (iklim lokal) yang ekstrem,” tutup Prof. Erni.
oleh M Rusmul Khandiq | Feb 8, 2024 | Kabar Fakultas, Sosok Fakultas
Sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami hujan disertai petir, termasuk Kota Semarang dan sekitarnya. Fenomena kilat dan petir adalah hal yang umum terjadi di musim penghujan seperti sekarang.
Bagi Dr. Ir. Abdul Syakur, S.T, M.T, IPU, kita tidak seharusnya takut secara berlebihan ketika menghadapi fenomena ini. “Meski bisa membahayakan, tetapi kilat dan petir juga punya manfaat untuk kehidupan,” ujar beliau dalam acara Kentongan Pro 1 RRI Semarang, Rabu, 7 Februari 2024.
Dosen Teknik Elektro Undip itu mengungkapkan, petir bisa terjadi akibat dari saling bertemunya kilat di langit atau pertemuan kilat dengan objek di bumi. Hal ini kemudian menimbulkan suara menggelegar yang sering kita dengan ketika petir menyambar. “Secara ilmiah, kilat adalah muatan listrik yang terkumpul di awan,” tukasnya.
Namun, Syakur menambahkan, kilat yang menyambar ke bumi hanya 20%, sedangkan 80% terjadi di awan. Kilat dan petir yang terjadi di awan justru bermanfaat karena membunuh kuman dan bakteri yang melayang-layang di udara. Selain itu, kilat dan petir juga memproduksi Ozon (O3) yang bermanfaat untuk menahan paparan ultraviolet matahari. “Kilat dan petir bermanfaat. Pada proses kimia, air hujan yang turun ke bumi membawa unsur hara yang bermanfaat dalam menyuburkan tanah,” tambah beliau.
Untuk mengurangi dampak negatif dari kilat dan petir, Syakur menyarankan penggunaan alat proteksi petir di rumah atau gedung. Alat proteksi ini terdiri atas tembaga lancip yang dipasang di atap rumah. Tembaga ini kemudian dihubungkan dengan kabel tembaga dan ditanam ke tanah menggunakan sistem pembumian atau grounding system.
“Tapi harus tetap hati-hati agar tidak tersetrum alat proteksi ini,” pesan beliau.
Beliau juga menyarankan untuk menghindari beberapa hal yang berpotensi menimbulkan sambaran kilat dan petir ketika hujan turun, seperti tidak berteduh di bawah pohon, mengurangi penggunaan perlengkapan berbahan logam ketika di lapangan terbuka, dan mengamankan alat-alat pertanian seperti cangkul dan sabit bagi pekerja di sawah.
Berita disadur dari RRI
oleh M Rusmul Khandiq | Jan 31, 2024 | Kabar Fakultas, Sosok Fakultas
Kota Semarang merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sering dilanda banjir. Maka dari itu, memasuki musim penghujang seperti sekarang, kepedulian masyarakat harus senantiasa ditingkatkan.
Menurut Narulita Santi, S.T, M.Eng, dosen Teknik Geologi Undip, dalam Dialog Kentongan Pro 1 RRI Semarang yang berlangsung pada Rabu, 17 Januari 2024, warga Semarang harus belajar dari pengalaman sebelumnya terkait potensi banjir di musim penghujan. “Kita harus belajar dari pengalaman yang lalu. Kejadian banjir besar pada tahun 2021 akibat luapan Sungai Beringin Mangkang dan Sungai Plumbon Kaligawe jadi pembelajaran,” ujar beliau.
Santi melanjutkan, beberapa permasalahan yang dapat menyebabkan banjir di Semarang diantaranya adalah tata guna lahan yang belum tertata baik. Selain itu, karakter tanah yang sudah jenuh air, drainase yang tidak mengalir, serta berkurangnya fungsi serapa di daerah tinggi juga bisa menjadi penyebab masalah.
Permasalahan-permasalahan tersebut menyebabkan kondisi morfologi air yang mengalir di permukaan lebih banyak daripada yang terserap, sehingga banjir pun terjadi. Menurut Santi, masyarakat sebenarnya bisa memaksimalkan potensi dari air hujan ini.
Cara termudah untuk memanfaatkan air hujan menurut beliau adalah dengan membuat serapan air alami melalui penanaman pohon atau pembuatan taman. Selain itu, masyarakat juga bisa membuat serapan air buatan melalui pembuatan sumur resapan dalam, sumur resapan standar, dan biopori.
Penampungan air skala rumah tangga juga bisa digunakan sebagai cara untuk memaksimalkan manfaat dari air hujan. “Penampungan skala rumah tangga bisa berupa tandon, kolam ikan, atau sumur buatan untuk menampung air hujan. Jadi mari jadikan hujan bukan sebagai bencana, melainkan sebagai berkah,” tutur Santi.
Berita disadur dari RRI